Mau jadi apa ? Serius ini saya nanya.

Carlos N
4 min readMar 4, 2017
Anak-anak bermain di Irigasi, Brebes, 2017

Kembali teringat ketika saya berada di ruang lantai 4 GKU Timur untuk mengikuti SSDK. “Tuliskan visi, misi, motto hidup kamu”. Saat itu ku tidak berpikir panjang, karena sebelumnya aku telah dihadapkan dengan sebuah momen di Kota Jakarta. Ku ingat saat itu sudah sore, ku duduk di kursi depan samping ayahku yang sedang mengemudi. Mengabadikan momen melalui kamera hp sepanjang perjalanan di mobil sudah menjadi kebiasaan. Sampai ketika di bawah jembatan Semanggi, ku memotret seorang pemulung dengan gerobaknya yang diisi oleh istri dan anaknya. Ku tersentak sejenak, banyak aliran pertanyaan mengisi kepala. Tidak bisa dijelaskan, dengan nafas sesak akhirnya mata ku ternyata sudah berair. Akhirnya ku mampu merangkai momen tersebut menjadi sebuah kata-kata yang aku sendiri dapat mencernanya : jika di tempat ini saja, di Semanggi, di jalan Protokol ibu kota terdapat orang-orang yang “menderita” seperti ini. Bagaimana kabarnya dengan orang-orang yang di perbatasan/perdesaan sana” (walaupun akhirnya kini setelah aku tingkat 3 Planologi menyadari isu masyarakat tidak sehitam putih ini).

Kembali tersadar dengan alunan musik Imagine Dragons — On top Of The World yang diputar oleh kaka pemateri dari Mesin yang memenuhi ruangan, mengingatkan untuk segera menulis visi, misi hidupku. Dengan semangat aku menulis bahwa aku akan menjadi orang : yang akan mengembangkan masyarakat yang berada jauh disana diluar jangkuan hiruk pikuk kota.

Kenapa masuk Plano? Lha gw kira lu mau masuk arsi? Katanya lu lebih suka tekpres Arsi daripada plano? IP lu kan cukup los?

Memang aku lebih suka materi dan perkenalan arsitektur (mungkin karena latar belakang kaka ku seorang arsitek), pengerjaan tugas Plano bagi ku terlalu rigid dan susah berkreasi. Sampai beberapa minggu sebelum kuesioner jurusan terakhir, ku berbincang dengan Eko Setyawan. Hari itu malam, dingin karena aku sedang membeli nasi goreng di depan asrama Kidang Pananjung, aku bertemu dengan Eko S. Kami saling bertanya apakah benar yang kami ingini ini adalah keresahan terdalam dari hati kami? Atau karena kami digerakkan oleh hegemoni orang-orang (maaf saja karena memang saat itu penggemar arsi memang lebih banyak). Mudah saja bagiku untuk mengganti kuesioner tersebut dan mengubahnya menjadi Plano. Sukarnya untuk meyakinkan ibuku, ibuku sangat mengingini anaknya ini masuk arsi (mungkin karena kakaku sudah berkuliah arsi dan lebih menjanjikan), ibuku ini sangat asing dengan Planologi/PWK. Malam itu kujelaskan, tidak mudah, harus membujuk dengan tangisan dan keyakinan sampai akhirnya orang tuaku mendkung.

Aku sudah memantapkan diri bahwa memang planologi ini adalah jurusan yang tepat bagiku semenjak Studio Proses tingkat 2 beserta pembelajaran2 lainnya, serta Himpunan kebanggan ku ini yang sudah mewadahiku dalam hal ko kulikuler.

Kemarin aku baru saja tiba dari Brebes. Argh… sulitnya untuk menyusun kata/ kalimat pengalamanku seminggu kemarin.

Mungkin bisa dimulai dengan puji syukur kepada Tuhan karena sudah menciptakan grand design kehidupan yang kompleksnya indah luar biasa yang bisa ku tarik benang merahnya.

Menghitung kendaraan pada pertigaan Brexit memberi kesan tersendiri, akhirnya aku bisa merasakan keramaian truck, gandeng, truck gandeng tiga, truck menyalip truck, motor diantara truck, becak yang disalip truck secara nyata. Berjalan menyelidiki tatanan guna lahan dari perkotaan sampai daerah pinggiran kota. Dengan aliran keringat yang mengaliri leher, dada sampai perut, dengan bau keringat yang seperti air lini/limbah.

Aku berhasil merekam sebuah momen yang membuatku terpaku selama belasan menit dan memutuskan untuk mengabadikannya.

Dalam Bingkai : Nikmah yang sedan bertanya pada petani bawang, Brebes, 2017

Bertanya kepada orang-orang dinas pemerintahan, membuatku menghargai mereka (buat teman2 semua jangan asal-asalan mengatakan bahwa pemerintah tidak berbuat apa2!), kepada buruh tani yang untuk menanyainya membuatku terjerembab ke dalam lumpur, kepada pemilik lahan pertanian yang sudah memiliki rumah besar, kepada kepala desa yang berjuang di dalam ketidak pastian sistem yang dia ikut jalani, kepada penjaga hotel yang memiliki ilmu “mistis2an”, kepada bapak camat yang menjawab berputar-putar, dan kepada petani yang menangis ketika ku tanya.

Ini adalah serangkaian kejadian yang aku beryukur dapat berjuang dan terlibat di dalamnya bersama tim/member yang luar biasa.

Sebuah kalimat pengingat :

“Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu. Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal.”

Carlos Nemesis
Lahir : Medan, 11 Mei 1996 —

--

--